BIOGRAFI BUNG TOMO
Sutomo
lahir di Surabaya, 3 Oktober 1920. Ia melewati masa kecil hingga dewasa di
Surabaya. Arek Suroboyo asli. Tapi, nama masyhurnya bukan Cak Tomo, melainkan
Bung Tomo. Inilah biodata singkat Cak, eh, Bung Tomo.
Masa remaja:
1. Anggota Gerakan Kepanduan Bangsa
Indonesia (KBI) Lulus Ujian Pandu Kelas (yang pertama di Jawa Timur dan kedua
untuk seluruh Indonesia), di Indonesia waktu itu hanya ada tiga pandu kelas
satu.
2. Sekretaris Parindra ranting anak
cabang di tembok duku, Surabaya sekitar tabun 1937.
3. Ketua ke1ompok sandiwara Pemuda Indonesia raya di
Surabaya, mementaskan cerita-cerita perjuangan tahun 1939 sampai balatentara
Jepang datang.
Masa Pemuda:
1.
Wartawan
free lance pada Harian Soeara Oemoem di Surabaya 1937.
2.
Wartawan
dan penulis pojok harian berbahasa Jawa, Ekspres di Surabaya 1939.
3.
Redaktur Mingguan Pembela Rakyat, di Surabaya
1938.
4.
Pembantu
koresponden untuk Surabaya, Majalah Poestaka Timoer Jogjakarta, sebelum perang
di bawah asuhan almarhum Anjar Asmara.
5.
Wakil
pemimpin redaksi kantor berita pendudukan Jepang Domei bagian Bahasa Indonesia,
untuk seluruh Jawa Timur di Surabaya 1942-1945. Dan memberitakan Proklamasi
Kemerdekaan 17 Agustus 1945 dalam tulisan bahasa Jawa, bersama wartawan senior
Romo Bintarti (untuk menghindari sensor balatentara Jepang).
6.
Pemimpin
Redaksi Kantor Berita Indonesia Antara di Surabaya 1945.
Masa Revolusi Fisik 1945-1949:
Masa Revolusi Fisik 1945-1949:
1.
Ketua
umum/pucuk pimpinan Barisan Pemberontak Rakyat Indonesia (BPRI) dengan
cabangnya di seluruh Indonesia. BPRI mendidik, melatih dan mengirimkan
kesatuan-kesatuan bersenjata ke seluruh wilayah tanah air. Setiap malam
mengucapkan pidato dari Radio BPRI untuk mengobarkan semangat perjuangan yang
selalu di relai oleh RRI di seluruh wilayah Indonesia (1945-1949). Sebagai
pimpinan BPRI sejak 12 Oktober 1945 sampai Juni 1947 (sampai dilebur didalam
Tentara Nasional Indonesia).
2.
Anggota
Dewan Penasehat Panglima Besar Jenderal Sudirman.
3.
Ketua
Badan Koordinasi Produksi Senjata Seluruh Jawa dan Madura.
4.
Dilantik
oleh Presiden Soekarno sebagai anggota pucuk pimpinan Tentara Nasional
Indonesia, bersama Jenderal Sudinnan, Letnan Jenderal Oerip Soemohardjo,
Komodor Soerjadarma, Laksamana Nazir dan sebagainya, dengan pangkat Mayor
Jenderal TNI AD, dengan tugas koordinator AD, AL, AU di bidang informasi dan
perlengkapan perang.
5.
Anggota
Staf Gabungan Angkatan Perang RI.
6.
Ketua
Panitia Angkutan Darat (membawahi bidang kereta api, bis antar kota dan
sebagainya, dengan tugas mengkoordinasikan semua alat angkutan darat di wilayah
RI) dan bertanggung jawab langsung kepada Panglima Besar TNI.
7.
Membuat
siaran pengumuman panggilan masuk kemiliteran RI yang pertama.
Foto Legendaris
Foto Legendaris
bung tomo.
Foto ini legendaris, selalu muncul
di setiap publikasi 10 November, menjadi ilustrasi buku sejarah jika mengulas
perang 10 November. Siapa pemotretnya dan bagaimana situasi yang
melatarbelakanginya?
Di foto itu Bung Tomo yang ceking
terlihat gagah berpidato. Berseragam militer, tangan kanannya menunjuk ke atas.
Kumisnya tipis, matanya tajam. Kepalanya dinaungi payung bergaris-garis dan
corong bundar menghadang mulutnya.
Namun siapa sangka, foto itu
sebenarnya bukan diambil saat perang 10 November 1945, tetapi beberapa tahun
setelahnya. Istri Bung Tomo, Sulistina, mengakui foto itu tidak dijepret di
Surabaya. “Itu yang motret IPPHOS, di lapangan Mojokerto. Waktu itu Bapak
sedang berpidato. Nggak dibuat-buat, kok,” tanya ujar Sulistina. Putra kedua
Bung Tomo, Bambang Sulistomo, membenarkan ayahnya tidak sempat diabadikan pada
perang 10 November karena perannya yang penting sehingga posisinya selalu
dirahasiakan.
Lantas siapa yang memotret Si Bung
sehingga foto hitam putih ini mampu bercerita banyak tentang kegagahan 10
November? Surya mendatangi kantor IPPHOS Surabaya di Jl Urip Sumohardjo. IPPHOS
kependekan dari Indonesia Press Photo Service, biro dokumentasi foto
satu-satunya di zaman perang.
Sayang, IPPHOS Surabaya tidak aktif
lagi. Tidak ada orang yang bisa memberi keterangan tentang foto ini. Beruntung,
ada sejumlah literatur terkait foto legendaris ini. Faktanya, selama periode
terakhir 1945, ketika perang Surabaya berkecamuk, ternyata tidak ada satupun
surat kabar yang memuat foto Bung Tomo berpayung ini.
Foto itu pertama kali muncul dalam
majalah dwi bahasa, Mandarin dan Indonesia, Nanjang Post, edisi Februari 1947.
Ada foto Bung Tomo dengan pose dahsyat ini. Dijelaskan dalam keterangan foto
itu bahwa Bung Tomo sedang berpidato di lapangan Mojokerto dalam rangka
mengumpulkan pakaian untuk korban Perang Surabaya.
Saat itu masih banyak warga Surabaya
yang bertahan di pengungsian di Mojokerto dan jatuh miskin. Sementara Surabaya
sedang diduduki Belanda. Sulistina hanya mengenal nama Mendur, wartawan foto
IPPHOS yang mengambil gambar ‘Bapak’.
Lantas siapa Mendur? Nama lengkapnya
Alexius Mendur (1907-1984), pendiri IPPHOS. Mendur adalah legenda fotografi era
perang. Dialah yang mengabadikan hampir semua peristiwa bersejarah periode
1945-1949.
Dia satu-satunya fotografer yang
memotret pembacaan proklamasi RI 17 Agustus 1945. Alex bukan orang asing bagi
Bung Tomo. Mereka bersahabat sejak lama karena sama-sama wartawan. Di zaman
Jepang, Bung Tomo adalah pemimpin redaksi kantor Berita Domei yang kelak
menjadi Kantor Berita Antara di Surabaya.
Sementara, Mendur tercatat sebagai
kepala desk foto kantor berita Domei Jakarta. Alex Mendur dan saudara
kembarnya, Frans Mendur, mendirikan IPPHOS pada 2 Oktober 1946 di Jakarta.
Beberapa nama lain juga tercatat sebagai pendiri IPPHOS. Misalnya, JK Umbas, FF
Umbas, Alex Mamusung, dan Oscar Ganda.
Hasil jepretan Mendur itu sudah
berbicara banyak. Tanpa mendengar pidato Bung Tomo dan hanya melihat foto itu,
orang sudah bisa membayangkan dengan jelas bagaimana situasi pada masa itu. Tak
mengherankan kalau kemudian foto itu dianggap sebagai salah satu yang terbaik
yang pernah dibuat di era perang kemerdekaan.
Sumber : http://syadiashare.com
Rumusan Kongres
Rumusan Kongres Sumpah Pemuda ditulis Moehammad Yamin pada secarik kertas yang disodorkan kepada
Soegondo ketika Mr. Sunario tengah berpidato pada sesi terakhir kongres
(sebagai utusan kepanduan) sambil berbisik kepada Soegondo: Ik heb een
eleganter formulering voor de resolutie (Saya mempunyai suatu formulasi
yang lebih elegan untuk keputusan Kongres ini), yang kemudian Soegondo
membubuhi paraf setuju pada secarik kertas tersebut, kemudian diteruskan
kepada yang lain untuk paraf setuju juga. [1] Sumpah tersebut awalnya dibacakan oleh Soegondo dan
kemudian dijelaskan panjang-lebar oleh Yamin.[2]
Isi
Sumpah Pemuda versi orisinal[3]:
Pertama
Kami poetera dan poeteri Indonesia, mengakoe bertoempah darah jang satoe, tanah Indonesia.
Kedoewa
Kami poetera dan poeteri Indonesia, mengakoe berbangsa jang satoe, bangsa Indonesia.
Ketiga
Kami poetera dan poeteri Indonesia, mendjoendjoeng bahasa persatoean, bahasa Indonesia.
Kami poetera dan poeteri Indonesia, mengakoe bertoempah darah jang satoe, tanah Indonesia.
Kedoewa
Kami poetera dan poeteri Indonesia, mengakoe berbangsa jang satoe, bangsa Indonesia.
Ketiga
Kami poetera dan poeteri Indonesia, mendjoendjoeng bahasa persatoean, bahasa Indonesia.
Sumpah Pemuda versi Ejaan Yang Disempurnakan:
Pertama
Kami putra dan putri Indonesia, mengaku bertumpah darah yang satu, tanah air Indonesia.
Kedua
Kami putra dan putri Indonesia, mengaku berbangsa yang satu, bangsa Indonesia.
Ketiga
Kami putra dan putri Indonesia, menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia.
Kami putra dan putri Indonesia, mengaku bertumpah darah yang satu, tanah air Indonesia.
Kedua
Kami putra dan putri Indonesia, mengaku berbangsa yang satu, bangsa Indonesia.
Ketiga
Kami putra dan putri Indonesia, menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia.
Kongres Pemuda Indonesia
Artikel
utama untuk bagian ini adalah: Kongres Pemuda
Panitia Kongres
Dalam upaya mempersatu wadah organisasi pemuda dalam satu
wadah telah dimulai sejak Kongres Pemuda Pertama 1926. Oleh sebab itu, tanggal
20 Februari 1927 telah diadakan pertemuan, namun pertemuan ini belum mencapai
hasil yang final.
Kemudian pada 3 Mei 1928 diadakan pertemuan lagi, dan
dilanjutkan pada 12 Agustus 1928. Pada pertemuan terakhir ini dihadiri semua
organisasi pemuda dan diputuskan untuk mengadakan Kongres pada bulan Oktober
1928, dengan susunan panitia dengan setiap jabatan dibagi kepada satu
organisasi pemuda (tidak ada organisasi yang rangkap jabatan) sebagai berikut:
- Ketua: Sugondo Djojopuspito (PPPI)
- Wakil Ketua: R.M. Joko Marsaid (Jong Java)
- Sekretaris: Muhammad Yamin (Jong Soematranen Bond)
- Bendahara: Amir Sjarifudin (Jong Bataks Bond)
- Pembantu I: Johan Mohammad Cai (Jong Islamieten Bond)
- Pembantu II: R. Katjasoengkana (Pemoeda Indonesia)
- Pembantu III: R.C.I. Sendoek (Jong Celebes)
- Pembantu IV: Johannes Leimena (Jong Ambon)
- Pembantu V: Mohammad Rochjani Su'ud (Pemoeda Kaoem Betawi)
Kongres Pemuda Indonesia
Kedua
Gagasan penyelenggaraan Kongres Pemuda Kedua berasal dari
Perhimpunan
Pelajar Pelajar Indonesia (PPPI), sebuah organisasi pemuda yang
beranggota pelajar dari seluruh Indonesia. Atas inisiatif PPPI, kongres
dilaksanakan di tiga gedung yang berbeda dan dibagi dalam tiga kali rapat.
Rapat pertama, Sabtu, 27 Oktober 1928, di Gedung Katholieke Jongenlingen Bond (KJB), Waterlooplein
(sekarang Lapangan Banteng). Dalam
sambutannya, ketua PPPI Sugondo Djojopuspito
berharap kongres ini dapat memperkuat semangat persatuan dalam sanubari para
pemuda. Acara dilanjutkan dengan uraian Moehammad Yamin tentang arti dan hubungan persatuan dengan
pemuda. Menurutnya, ada lima faktor yang bisa memperkuat persatuan Indonesia
yaitu sejarah, bahasa, hukum adat, pendidikan, dan kemauan
Rapat kedua, Minggu, 28 Oktober 1928, di Gedung Oost-Java
Bioscoop, membahas masalah pendidikan. Kedua pembicara, Poernomowoelan
dan Sarmidi Mangoensarkoro,
berpendapat bahwa anak harus mendapat pendidikan kebangsaan, harus pula ada
keseimbangan antara pendidikan di sekolah dan di rumah. Anak juga harus dididik
secara demokratis.
Pada rapat penutup, di gedung Indonesische Clubgebouw
di Jalan Kramat Raya 106, Sunario menjelaskan pentingnya
nasionalisme dan demokrasi selain gerakan kepanduan. Sedangkan Ramelan
mengemukakan, gerakan kepanduan tidak bisa dipisahkan dari pergerakan nasional.
Gerakan kepanduan sejak dini mendidik anak-anak disiplin dan mandiri, hal-hal
yang dibutuhkan dalam perjuangan.
Sebelum kongres ditutup diperdengarkan lagu "Indonesia Raya" karya Wage Rudolf Supratman yang
dimainkan dengan biola saja tanpa syair, atas saran Sugondo kepada Supratman.
Lagu tersebut disambut dengan sangat meriah oleh peserta kongres. Kongres
ditutup dengan mengumumkan rumusan hasil kongres. Oleh para pemuda yang hadir,
rumusan itu diucapkan sebagai Sumpah Setia.
Peserta
Para peserta Kongres Pemuda II ini berasal dari berbagai
wakil organisasi pemuda yang ada pada waktu itu, seperti Jong Java, Jong Ambon,
Jong Celebes,
Jong Batak, Jong Sumatranen Bond, Jong Islamieten
Bond, Sekar Rukun,
PPPI,
Pemuda Kaum Betawi, dll.
Di antara mereka hadir pula beberapa orang pemuda Tionghoa sebagai pengamat, yaitu Oey Kay Siang, John Lauw
Tjoan Hok dan Tjio Djien Kwie namun sampai saat ini tidak diketahui latar
belakang organisasi yang mengutus mereka. Sementara Kwee Thiam Hiong
hadir sebagai seorang wakil dari Jong Sumatranen Bond. Diprakarsai oleh AR Baswedan pemuda keturunan arab di Indonesia mengadakan
kongres di Semarang dan mengumandangkan Sumpah Pemuda Keturunan Arab.
Gedung
Artikel
utama untuk bagian ini adalah: Museum Sumpah Pemuda
Bangunan di Jalan Kramat Raya 106, tempat dibacakannya
Sumpah Pemuda, adalah sebuah rumah pondokan untuk pelajar dan mahasiswa milik Sie Kok Liong
[4].
Gedung Kramat 106 sempat dipugar Pemda DKI Jakarta 3 April-20 Mei 1973
dan diresmikan Gubernur DKI Jakarta, Ali Sadikin, pada 20 Mei 1973
sebagai Gedung Sumpah Pemuda. Gedung ini kembali diresmikan oleh Presiden Soeharto pada 20 Mei 1974.
Dalam perjalanan sejarah, Gedung Sumpah Pemuda pernah dikelola Pemda DKI
Jakarta, dan saat ini dikelola Kementrian Kebudayaan dan Pariwisata.[5]
Catatan kaki
Pranala luar
- (Indonesia) situs resmi Museum Sumpah Pemuda
Tidak ada komentar:
Posting Komentar